Jumat, 18 November 2011

Harus Ada Penempatan Dari Rasa Malu I

Sedikit cerita tentang akhwat berta'aruf dengan ikhwan...
Cerita yang dirangkai sebuah perdebatan mahasiswa LDK...:)

Sebut saja namanya Akhwat “UPY”....
Akhwat upy baru datang di tempat kajian....

Aku buka pagar rumah. Dan melangkahkan kaki masuk kedalam rumah.
“Assalamualaikum” Salamku pada seisi rumah.

Walaikumsalam” Serentak jawaban dari seisi rumah

“Masuk, Ukh!” Ucap Agung.


Aku  segera  masuk  kedalam  rumah.  Tak  lupa,  berjabat  tangan  dengan  pelukan persaudaraan.

“Ana, telat yah?” Tanyaku

“Nggak kok, Ukh! Kita aja yang nyampainya duluan.”  Jawab Resti. “O..h!”
“Ustadzah Fany masih belum pulang dari ngajarnya! Jadi dari pada diam kita ngobrol- ngobrol aja.” Ucap Jabal.

Hem, kok ngobrol sih. Daripada ngobrol kan mending tilawah, muraja’ah atau dzikir. Hem, akhwat! Semoga aja nggak ghibah! Aku tersentak dari lamunku. Saat Resti memegang tanganku, sambil mengatakan.

“Ukhti, anti sampai kapan kuat berjalan!” “Maksud anti?” Aku sedikit bingung.
“Iya. Maksudnya, anti sampai kapan kuat berjalan dari jalan besar keperumahan ini! Belum lagi, panasnya minta ampun.” Ucap Jabal.

Wah kok pada ngomongin aku nich! Jangan-jangan, dari tadi cuma ngobrolin aku! Wah, aku kok jadi su’udhon sich. Semoga saja, nggak ngobrolin aku! Gumamku dalam hati. 

“Oh itu, Insya  Allah sampai kapan pun ana kuat berjalan kemana pun! Kalau hanya dari sini sampai jalan besar,  itu  kan biasa. Yah, sambil berjalan kaki. Dzikir tidak pernah berhenti!” Ucapku sambil tersenyum.

“Ih, anti aneh! Kenapa mesti jalan kaki? Kan, kita bisa naik motor atau mobil sambil berdzikir! Apalagi, apa anti nggak takut hitam! And nanti, para ikhwan pada nggak mau loh  ta’aruf  dengan  anti!”
Ucap  Jabal,  sambil  tersenyum  dan  mengerdipkan sebelah matanya.

“Iya. Apalagi,  anti  kan  sudah  punya  mobil!  Mending  itu  aja  dipakai,  dari  pada menyulitkan diri sendiri! Bukan berarti, dakwah itu harus selalu sulit loh Ukh! Kalau ada kemudahan, pakai saja kemudahan itu.” Sahut Resti.

“Hem,” aku tersenyum. “Yah memang, bisa saja kita berdzikir saat kita mengendarai motor atau mobil. Tapi kalau ana sendiri, ana tidak bisa seperti itu. Ana jadi nggak
konsen  untuk  berdzikir  saat  mengendarai  kendaraan.  Takut  nabrak!

Dan  untuk masalah dakwah  pun,  ana  merasa  enakkan  berjalan  kaki.  Yah  itung-itung,  bisa merasakan menjadi kaum dhuafa yang tidak punya apa-apa! Dan cara seperti itu yang menurut ana dapat membangkitkan rasa zuhud dalam diri ana sendiri! Menurut ana, bahwa  kemudahan  dalam berdakwah  itu  adalah dalam cara atau  strategi  dalam melakukan ekspansi dakwah. Bukan dalam seorang yang ingin membuat motivasi bagi dirinya untuk dapat selalu merasakan kehidupan kaum-kaum dhuafa.  Dalam artian, memberikan sebuah kepekaan dalam diri untuk selalu menyayangi saudara- saudara  kita yang tidak beruntung. Dan menurut ana, itu lebih baik! Daripada ana harus mengambil kemudahan-kemudahan itu, hanya untuk kepuasan diri ana sendiri. Atau dalam kata lain, ana  memanfaatkan kemudahan hanya karena ingin kulit ana bisa tetap putih dan mulus selamanya.
Nggak! Ana nggak mau itu! Tidak ada mahluk mana pun yang bisa menjamin itu! Selain sang Maha penjamin kehidupan. Toh, jika takdir menyatakan kulit putih dan mulus ana hilang. Maka secara otomatis, meskipun ana menjaga agar kulit putih dan mulus ana tidak hilang. Pasti dengan cara apapun, kulit putih dan mulus ini akan hilang!” Aku sedikit menghela nafas, lalu melanjutkan perkataanku  “pada  dasarnya,  jika  ada  seorang ikhwan yang  tidak  mau  berta’aruf dengan ana! Ya, kenapa ana harus menunggu ta’aruf ikhwan. Mending ana, yang berta’aruf duluan ke ikhwan!” Ucapku sambil senyum.

Terlihat wajah-wajah  yang  sangat  heran  pada  Al  Ukh,  yang  berada  disekitarku. Meraka merasa tidak percaya, aku mengatakan seperti itu.

“Masya Allah, Ukh! Apa anti nggak malu berta’aruf duluan dengan ikhwan? Ucap Jabal.

“Ukhti, dimana rasa malu anti! Pernyataan anti seperti itu, membuat  kami malu. Akhwat, harus punya harga diri yang lebih ketimbang ikhwan. Biarlah ikhwan yang mendahului kita, dalam masalah yang satu ini!” Ucap Resti

“Ukhti. Apakah anti ingat Ibunda Khadijah?” Ucapku.

Dengan cepat Jabal menyela pembicaraanku. “Selalu Ibunda Khadijah yang dijadikan alasan, oleh  para akhwat untuk hal-hal yang seperti itu! Ukhti harus ingat, bahwa Ibunda Khadijah adalah  wanita yang mulia, dan beliau pun meminang orang yang paling mulia didunia! Nah kita? Siapa  kita? Apakah kita semulia ibunda Khadijah? Atau adakah Ikhwan semulia Rasulullah? Kalau ada ikhwan seperti Rasulullah, ana pun akan bersedia untuk melakukan cara yang dipakai ibunda Khadijah!”

Aku tersenyum. “Al Ukh! Apakah kita tidak pernah merasa dimuliakan oleh Allah? Apakah cara yang dibolehkan menurut Allah, tidak kita lakukan. Hanya karena harga diri kita! Lalu apa bedanya kita dengan orang-orang ammah pada umumnya? Yang merasakan bahwa harga diri atau pun adat istiadat rasa malu itu lebih besar ketimbang hal-hal yang dibolehkan didalam syariat! Jika seperti itu, maka dengan sendirinya kita pun telah menafikkan hal-hal yang bersifat benar dan dibolehkan! Lalu apa bedanya kita dengan wanita-wanita ammah? Apakah kita merasa bahwa harga diri kita lebih tinggi dari pada ikhwan! Apakah itu benar? Atau hanya, kita yang memasang tarif itu? Apakah kita tidak akan kecewa, jika ada seorang ikhwan. Yang bagus dalam akhidah, cakap dalam kegiatan  dakwahnya. Dan kita tertarik dengan dia. Apakah kita hanya diam,  mengharap  ikhwan  itu  datang  dengan  sendiri tanpa  ikhtiar  kita. Tentunya, ikhtiar yang dibolehkan menurut syariat!”

“Ya udah kita nanti menanyakan hal ini ke Ustadzah Heni! Gimana? Ucap   Agung. Yang  dari  tadi  hanya  diam.  Sepertinya  menyimpan  sesuatu  hal,  didalam maksud pembicaraan masalah ini!


Silahkan lanjut ke bagian ke II nya yah....^_^



BACA Artikel terkait:

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Sekilas

SELAMAT DATANG

Selamat datang di Blog Mega Oc. - Saya Senang dengan anda mengklik informasi ini, berarti anda peduli dengan keberadaan blog ini, saya berharap ini bukan untuk pertama kalinya anda mengunjungi blog ini. Mudah-mudahan blog ini bermanfaat.

Sekilas Pesan

Belajar dan belajar sampai bodoh kembali. Tdk menginginkan org lain kecewa krn tingkah ku. Menabur kebaikan akan menuai berkah. Jadi tdk menabur angin agar tdk menuai badai.(' ',)