Jumat, 18 November 2011

Harus Ada Penempatan Dari Rasa Malu II

Entah kenapa, suasana yang tadinya begitu bersahabat. Menjadi terlihat begitu serius. Sudah tidak ada lagi sendagurau dari para Al Ukh. Padahal, aku tadi tidak bermaksud menyinggung mereka. Aku hanya mengungkapkan isi hati yang ingin mereka ketahui. Kalaulah hanya masalah  seperti ini saja, menjadi dongkol dihati. Apalagi masalah-masalah perdebatan yang panjang dalam masalah akhidah, syari’at, hadits, pemahaman Al  Qur’an, dll. Pasti perdebatan-perdebatan seperti  itu  yang membuat perpecahan. Padahal solusinya mudah, menurutku.
Tinggal kita tidak usah memperdebatkan hal-hal yang  tidak  dilarang dalam agama. Jika  seseorang  tidak melanggar syari’at. Kenapa harus dicari-cari pelanggarannya.

Kalaulah ingin berdebat, yah harus dengan hati yang terbuka. Terbuka dengan hujjah orang  lain, terbuka dengan pendapat orang lain, terbuka dengan pemikiran orang lain, selama hal-hal itu tidak menyimpang dari syari’at. Dan yang lebih penting, kita  terbuka untuk  mencari sebuah   kebenaran dari perdebatan.  Bukan  mencari pembenaran  dari pendapat  kita sendiri.  Jika  kita  memang mencari pembenaran pendapat kita dalam perdebatan. Pastilah, kita tidak akan pernah mau mendengarkan kebenaran. Karena, pembenaran itulah yang akan memakan egoisme seseorang untuk menafikkan kebenaran dalam perdebatan. Dan akhirnya, dalam perdebatan. Tidak akan pernah selesai, dan akan membuat rasa benci seseorang kepada lawan bicara. Meskipun, lawan bicara berkata benar.

Tak seberapa lama, ustadzah Heni datang. “Assalamualaikum!”

Walikumsalam!” Jawab kami serentak tanpa dikomando.

“Afwan, ana terlambat! Ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan” Ucap Ustadzah Fany.

Kami pun tersenyum, dan memaklumi. Karena kami tahu, bahwa ustadzah Fany. Bukanlah seorang ummahat yang sedikit kegiatan. Tetapi, jam-jam produktif yang membuat begitu banyak kegiatan. Sungguh seorang mujahidah sejati. Aku tahu semua itu,  karena  Ummiku  adalah   kakak  dari  ustadzah   Fany Tetapi,   teman-teman sekajianku belum mengetahui, kalau aku adalah saudara ustadzah Fany. Atau dalam kata lain ustadzah Fany adalah Bibiku yang telah merawatku  semenjak aku kecil. Tetapi aku tidak mau, membuat mereka menjadi tahu kalau Ustadzah Fany  adalah Bibiku.

“Gimana, sudah lama tadi?” Tanya ustadzah Fany.

“Nggak juga kok Ustadzah! Kami juga lagi membahas masalah yang besar!” Ucap Jabal. Terlihat seperti cari muka.

Ha! Masalah besar? Jadi mereka menganggap masalah kecil ini menjadi besar? Masya Allah!  Semoga tidak menghalangi dengan masalah-masalah yang memang seharusnya dikatakan besar. Gumamku dalam hati.

“Ha! Masalah besar? Masalah apa kok sepertinya sangat penting!” Ustadzah Fany terlihat penasaran.

“Iya, masalah tentang menikah!” Jawab Wira lagi.

“Hem! Masalah itu. Yah memang itu masalah besar bagi anti-anti yang masih belum menikah!” Sindir ustadzah Fany, sambil tersenyum.

“Iya Ustadzah! Masih pelu dilanjutkan.” Ucap Wira antusias.

“Baik. Apa sebenarnya yang menjadi masalah itu!” tanya Ustadzah Fany.

Jabal menceritakan pembicaraan yang masih hangat itu. Dengan antusiasnya, sampai kepada hal-hal yang mendetail.

“Ya, seperti itu Ustadzah! Kalau menurut pendapat Ustadzah gimana?” Ucap Jabal. Mengakhiri penjelasannya.

“Oh, jadi begitu!” Ustadzah Fany menghela nafas panjang. “Begini sebenarnya, kalau menurut ana. Akhwat mendahului ikhwan dalam berta’aruf, itu sah-sah saja. Hanya saja, budaya timur ini yang membuat kita salah persepsi tentang hal itu. Rasa malu memang sangat  harus dipertahankan  dalam kepribadian  seorang  muslim.  Bahkan malu itupun adalah sebagian dari iman, bukan! Tetapi, yang paling penting adalah bisa menempatkan rasa malu itu sendiri. Tidaklah seorang muslim yang tidak dapat berlaku proporsional. Semua orang muslim, harus dapat menempatkan sesuatu dengan benar! Karena, jika kita tidak menempatkan sesuatu dengan benar. Maka kita disebut dholim!” Ustadzah Fany tersenyum, dan memandang kami satu persatu. “lalu, apakah akhwat yang mendahului ikhwan berta’aruf itu tidak punya rasa malu? Mungkin kita sering  mendengar  dan membaca  tentang riwayat Ibunda  kita, Khadijah!  Seorang wanita mulia, yang menikahi manusia paling mulia pula. Mungkin kita berfikir bahwa Siti Khadijah adalah seorang wanita mulia, dan kita tidak setara dengan beliau. Maka kita tidak boleh meniru beliau. Atau karena kita menganggap bahwa yang dinikahi oleh Siti Khadijah adalah seorang yang sangat mulia, sehingga kita memakluminya. Sedangkan sekarang,  tidak  ada lagi ikhwan yang  paling  sempurna.  Maka  sudah tertutup pintu wanita untuk menkhitbah duluan. Wahai ukhti, ingatlah. Bahwa tidak ada seorangpun yang menyamai Rasulullah. Bahkan, jin sekalipun. Lalu, apakah salah jika seorang akhwat menembak ikhwan duluan! Sebuah pertanyaan besar, mungkin! Tetapi pada dasarnya, Allah memberikan derajat yang sama kepada seluruh hambanya.  Baik wanita maupun pria.  Tidak  ada  perbedaan  derajatnya.  Yang membedakan hanyalah, Iman dan ketaqwaannya! Lalu, hubungannya dengan akhwat nembak duluan? Yaitu, wanita sah-sah saja menembak ikhwan lebih dulu. Dan, sudah ada beberapa contoh, selain Siti Khadijah! Tidaklah wanita lebih rendah derajatnya, jika wanita itu menembak ikhwan duluan. Tetapi, kesiapan seorang  wanita untuk menembak ikhwan duluan. Haruslah sangat matang. Disamping kesiapan akhidah dan ilmu,  juga harus  dikuatkan pada sisi mentalnya.  Dan seandainya,  ikhwan  tidak menerima tembakan akhwat. Maka, harus diingat bahwa niat untuk menembak hanya karena  Allah.  Bukan  karena  siapa-siapa.  Jadi  meskipun  ikhwan tidak menerima, akhwat tetap bisa berlapang dada. Karena niatnya, hanya untuk Allah! Ya, meskipun kita tahu. Bahwa, hati seorang wanita sangatlah sensitif untuk masalah yang satu ini! Tetapi minimal, bahwa rasa malu harus ditempatkan pada tempatnya! Akhwat boleh malu, misalkan saat tembakannya tidak diterima oleh ikhwan. Tetapi hal  itu tidak memalukan. Perlu diingat, bahwa hal itu bukanlah perbuatan yang memalukan! Atau bahkan merendahkan derajat wanita itu sendiri.

Jadi derajat wanita, tidak akan pernah luntur meskipun tembakannya meleset!” Ustadzah Fany, lagi-lagi melihat kami satu persatu dengan memberikan senyumnya. “malu  boleh, asal tahu penempatan malu itu!  Ada  sebuah  contoh  dari  seorang shahabiah. Dinukilkan  dari hadits!  Seorang  wanita datang kepada  Rasulullah, shahabiah itu menghibahkan dirinya, untuk dinikahi oleh Rasulullah. Tetapi apa yang dilakukan Rasulullah? Rasulullah hanya terdiam, tidak berkata apapun sampai ketiga kalinya. Lalu tiba-tiba seorang pria berkata kepada Rasulullah Wahai  Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya!’ Rasulullah mengatakan ‘Apa engkau punya sesuatu?’’ lalu  jawab  pria  itu ‘Aku  tidak memiliki apapun ya Rasulullah!’ lalu  Rasulullah bertanya  Apakah  engkau hafal  suatu  surat dalam  Al  Qur’an?’  lalu pria  itu pun menjawab ‘Aku hafal ini dan itu!’ lalu Rasulullah, mengatakan ‘pergilah, karena aku telah menikahkanmu dengannya, dengan mahar surat Al Qur’an yang engkau hafal!’ apakah wanita itu menjadi rendah karena tidak dinikahi oleh rasulullah? Ataukah wanita itu rendah karena telah  ditolak Rasulullah? Atau wanita itu rendah karena dinikahi oleh orang yang bukan Rasulullah? Apalagi dinikahi dengan mahar yang hanya hafalan Al Qur’an! Apakah wanita itu menjadi hina?  Tidak! Shahabiah itu tetaplah  seorang  shahabiah.  Seorang  yang derajatnya tidaklah  lebih  rendah  dari shahabiah-shahabiah lainnya! Ada sebuah contoh. Ada sebuah riwayat juga, yang menyatakan, ada seorang yang menikah dengan mahar sepasang sendal yang dipakai oleh orang itu.  Dan Rasulullah bertanya ‘Apakah engkau ridha terhadap diri dan hartamu dengan sepasang  sendal? si wanita itu menjawab ‘Ya.’ Maka Rasulullah membolehkannya.
 
Dari kisah-kisah seperti tadi. Apakah wanita itu sangat rendah? Hingga dia harus dihargai dengan hanya sepasang sendal! Atau, ada kisah lain yang menyatakan sahabat Rasulullah menikahkan dengan mahar, sebuah cincin besi. Semua ini pernah terjadi!  Dan itu,  tidak pernah  menjadikan   rasa   malu terhadap  para  shahabiah- shahabiah. Ini sebuah contoh yang telah dilakukan oleh  generasi Rasulullah! Jadi yang terpenting adalah. Rasa malu itu ditempatkan dengan sebenar-benarnya tempat malu itu sendiri. Jika kita telah melakukan kesalahan terhadap syari’at  Islam! Baru rasa malu itu timbul. Jika kita melakukan dosa-dosa, baru rasa malu dan derajat yang rendah itu boleh muncul! Tetapi jika, kita tidak melakukan perbuatan yang melanggar syari’at.  Maka  sesungguhnya,  kita tidak perlu merasa  malu. Karena  itu  memang perbuatan yang tidak memalukan!

Hanya  karena  adat  daerah,  yang  membuat  rasa  malu  itu  muncul.  Dan persoalan-persoalan yang dianggap tabu dalam adat kita. Maka kita sering terkecoh dengan menempatkan rasa malu itu sendiri! Jadi, jika sebuah perkara yang pada dasarnya   tidak  dilarang  oleh agama. Maka seharusnya, kita tidak usah memperdebatkan  atau mencari-cari kesalahan  pada  hal-hal itu!” Ustadzah Fany mengakhiri penjelasannya dengan sebuah kata-kata yang bijak.

Kami berempat pun, akhirnya mengerti tentang rasa malu itu sendiri. Memang harus  ada penempatan dari  rasa  malu  itu.  Bukan  hanya  dengan  ego  kita,  dalam menyatakan sebuah rasa malu. Tetapi pada prinsipnya, rasa malu itupun harus berada pada hal-hal yang sudah ditetapkan. Karena ego kitalah, kita sering menganggap rasa malu itu tidak dapat ditempatkan sebagai mana  mestinya. Sebuah contoh, jika kita tidak bisa mengikuti apa yang sudah menjadi kebiasaan sebuah  daerah. Maka kita akan  lebih  cenderung untuk  malu,  jika kita  tidak  mengikuti  kebiasaan  mereka. Dengan kata lain, kita malu untuk tidak mengikuti kebiasaan seseorang yang pada dasarnya kebiasaan itu adalah sebuah kebiasaan yang memalukan. 

Jadi sungguh besar memang manfaat rasa malu itu sendiri. Sampai-sampai dalam agama Islam, malu merupakan sebagian dari keimanan. Jadi sebagaimana apa yang telah diajarkan dalam agama Islam. Malu, merupakan hal yang harus dimiliki oleh  setiap  muslim. Dan  setiap muslim  harus  bisa  menempatkan  rasa  malunya. Tidaklah setiap muslim mengumbar rasa malu itu, hingga menjadi malu-maluin. Atau tidaklah  seorang  muslim menyimpan  terlalu dalam  rasa  malu,  hingga  dia tidak mengetahui tempat dimana menyimpan malunya. Maka dari itu, setiap muslim telah diajarkan oleh Allah, dengan memiliki sifat tawadzun. Dengan begitu, kita akan dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan menempatkan sesuatu dengan tempat yang benar. Bukan asal-asalan, dalam menempatkan.


*Semoga ceritanya bermanfaat....
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Sekilas

SELAMAT DATANG

Selamat datang di Blog Mega Oc. - Saya Senang dengan anda mengklik informasi ini, berarti anda peduli dengan keberadaan blog ini, saya berharap ini bukan untuk pertama kalinya anda mengunjungi blog ini. Mudah-mudahan blog ini bermanfaat.

Sekilas Pesan

Belajar dan belajar sampai bodoh kembali. Tdk menginginkan org lain kecewa krn tingkah ku. Menabur kebaikan akan menuai berkah. Jadi tdk menabur angin agar tdk menuai badai.(' ',)