Rabu, 02 Mei 2012

2 MEI


Tidak heran dan tidak asing lagi, ketika memasuki bulan Mei tanggal 2 seluruh sekolah bahkan elemen-elemen masyarakat yang terkait memperingati hari Pendidikan Nasional. Yang dimana harapan besar menjadi satu “menata” pendidikan lebih baik. Ada yang di asuh dan pengasuh begitulah kata bapak Ki hajar Dewantara.

“Kenapa Harus Ki hajar Dewantara”

Tanggal 2 Mei 1889 mengingatkan kita tentang hakikat pendidikan yang telah lama ditekan oleh bapak pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara. Nama asli beliau Soewardi Soerjaningrat, pendidik kelahiran Jogyakarta tahun 1889 dan wafat pada 26 April 1959. Beliau adalah seorang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada jaman kolonial Belanda. Tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" judul asli tulisannya: Als ik eens Nederlander was, dimuat dalam surat kabar de Expres milik Dr. Douwes ekker pada 1913 melambungkan namanya. Artikel ini ditulis dalam konteks rencana pemerintah Belanda untuk mengumpulkan sumbangan dari Hindia Belanda Indonesia, yang saat itu masih belum merdeka, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis.

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan dinegeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlandaer memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengkongsi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingan sedikitpun".

Beliau dikenal sebagai Menteri Pendidikan Indonesia yang pertama dan wajahnya bisa dilihat pada uang kertas pecahan Rp.20.000. Nama beliau diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Selain itu, sampai saat ini perguruan Taman Siswa yang beliau dirikan masih ada dan telah memiliki sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Semboyan dalam pendidikan yang beliau pakai adalah: tut wuri handayani. Semboyan ini berasal dari ungkapan aslinya ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Hanya ungkapan tut wuri handayani saja yang banyak dikenal dalam masyarakat umum. Arti dari semboyan ini secara lengkap adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik).
Semboyan ini masih tetap abadi dan dipakai dalam dunia pendidikan kita. Gagasan pendidikan dari Ki Hajar Dewantara masih terus relevan sampai pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini. Zaman ketika banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain.
Dalam abad informasi ini, manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya).
Menurut Ki Hajar, dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu.
Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang . Inilah yang menurut Ki Hajar Dewantara harus dikembangkan karena pendidikan juga menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand!”
 Ki Hajar Dewantara senantiasa melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya, karena manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia.
Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda.
Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara.
Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar.
Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar yang sukses menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini.
Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Manusia merdeka adalah tujuan dari pendidikan nasional kita. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian.
Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual.
Pendidikan juga hendaknya tidak hanya sekedar mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan. Pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan. Pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri. Setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini menurut Ki Hajar adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love).
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman.
Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.


“Selamat Hari Pendidikan Nasional”
Sudah terpublikasi berbagai kalangan media televisi, koran, bahkan teknologi canggih, via internet. Isu masalah kastanasi guru, honorer negri dan swasta, masalah tunjungan guru yang dikorupsi, birokrasi yang jauh dari sempurna, dan berbagai masalah yang fundamental terkait soal pendidikan lainnya. Sampai sekarang tidak terealisasi kata-kata yang terlontar dari mulut pemerintah. Yang terpopulerkan sekarang soal BBM yang mempengaruhi psikologi rakyat, wakil rakyat tak kunjung berhenti debat. Dan berbagai masalah lain soal negara yang jarang melirik soal pendidikan Indonesia.
Tanggal 2 Mei 2012, seharusnya menjadi moment yang baik untuk pemerintah yang lebih arif dalam memaparkan kebijakannya, khususnya dalam hal kastanasi para guru di Indonesia. Sebenarnya pemerintah harus bertanggungjawab juga pada sekolah swasta, karena secara tidak langsung sekolah swasta di dirikan untuk membantu pemerintah ketika pemerintah tidak bisa memberikan sarana pendidikan bagi masyarakat, tapi sekarang eksistensi sekolah swasta seakan anak tiri. Bahkan ada bahasa “siapa suruh menjadi guru swasta dengan gaji 200ribu, itu salah mereka”. Saya berharap tidak ada lagi pemimpin yang tidak bijaksana dalam melihat problema terkait pendidikan yang salah satu merupakan sumbangsih untuk memajukan bangsa.
Telah terpublikasi juga tentang karakter para pendidik untuk para didikannya. Yang dimana para guru tidak lagi mendidik selayaknya orang tua. Kekerasan bahkan kesukaan antara guru dan siswa terjadi. Kekerasan yang terjadi tidak dapat mengontrol emosi buat para didikan. Sepertinya pendidikan karaktek diciptakan bukan hanya diberikan oleh para didikan, tapi juga lebih krusial para pendidik. Berharap guru-guru bisa mendidik para siswa dengan baik. Semua terakumulasi buat bangsa ini.
Sesungguhnya kebangkitan suatu bangsa bisa dilakukan dengan menumbuhkan harapan pada pendidik dan cara didikannya. Dan berbahagialah ketika kita masih bisa menemukan orang-orang yang menemukan cintanya dalam mengajar, dan tersenyumlah ketika kita masih menemukan pendidikan yang memadai untuk bangsa. Dan tuntutlah sistem bahkan pemerintahnya ketika pendidikan itu tidak memuaskan lagi. Karena kita yakin, masih akan ada generasi yang tumbuh setiap eranya.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Sekilas

SELAMAT DATANG

Selamat datang di Blog Mega Oc. - Saya Senang dengan anda mengklik informasi ini, berarti anda peduli dengan keberadaan blog ini, saya berharap ini bukan untuk pertama kalinya anda mengunjungi blog ini. Mudah-mudahan blog ini bermanfaat.

Sekilas Pesan

Belajar dan belajar sampai bodoh kembali. Tdk menginginkan org lain kecewa krn tingkah ku. Menabur kebaikan akan menuai berkah. Jadi tdk menabur angin agar tdk menuai badai.(' ',)