Sedikit cerita tentang akhwat berta'aruf dengan ikhwan...
Cerita yang dirangkai sebuah perdebatan mahasiswa LDK...:)
Sebut saja namanya Akhwat “UPY”....
Akhwat upy baru datang di tempat kajian....
Aku buka pagar rumah. Dan melangkahkan kaki masuk kedalam rumah.
“Assalamualaikum” Salamku pada seisi rumah.
“Walaikumsalam” Serentak jawaban dari seisi rumah
“Masuk, Ukh!” Ucap Agung.
Aku segera masuk kedalam rumah. Tak lupa, berjabat tangan dengan pelukan persaudaraan.
“Ana, telat yah?” Tanyaku
“Nggak kok, Ukh! Kita aja yang nyampainya duluan.” Jawab Resti. “O..h!”
“Ustadzah Fany masih belum pulang dari ngajarnya! Jadi dari pada diam kita ngobrol- ngobrol aja.” Ucap Jabal.
Hem, kok ngobrol sih. Daripada ngobrol kan mending tilawah, muraja’ah atau dzikir. Hem, akhwat! Semoga aja nggak ghibah! Aku tersentak dari lamunku. Saat Resti memegang tanganku, sambil mengatakan.
“Ukhti, anti sampai kapan kuat berjalan!” “Maksud anti?” Aku sedikit bingung.
“Iya. Maksudnya, anti sampai kapan kuat berjalan dari jalan besar keperumahan ini! Belum lagi, panasnya minta ampun.” Ucap Jabal.
Wah kok pada ngomongin aku nich! Jangan-jangan, dari tadi cuma ngobrolin aku! Wah, aku kok jadi su’udhon sich. Semoga saja, nggak ngobrolin aku! Gumamku dalam hati.
“Oh itu, Insya Allah sampai kapan pun ana kuat berjalan kemana pun! Kalau hanya dari sini sampai jalan besar, itu kan biasa. Yah, sambil berjalan kaki. Dzikir tidak pernah berhenti!” Ucapku sambil tersenyum.
“Oh itu, Insya Allah sampai kapan pun ana kuat berjalan kemana pun! Kalau hanya dari sini sampai jalan besar, itu kan biasa. Yah, sambil berjalan kaki. Dzikir tidak pernah berhenti!” Ucapku sambil tersenyum.
“Ih, anti aneh! Kenapa mesti jalan kaki? Kan, kita bisa naik motor atau mobil sambil berdzikir! Apalagi, apa anti nggak takut hitam! And nanti, para ikhwan pada nggak mau loh ta’aruf dengan anti!”
Ucap Jabal, sambil tersenyum dan mengerdipkan sebelah matanya.
“Iya. Apalagi, anti kan sudah punya mobil! Mending itu aja dipakai, dari pada menyulitkan diri sendiri! Bukan berarti, dakwah itu harus selalu sulit loh Ukh! Kalau ada kemudahan, pakai saja kemudahan itu.” Sahut Resti.
“Hem,” aku tersenyum. “Yah memang, bisa saja kita berdzikir saat kita mengendarai motor atau mobil. Tapi kalau ana sendiri, ana tidak bisa seperti itu. Ana jadi nggak
konsen untuk berdzikir saat mengendarai kendaraan. Takut nabrak!
Dan untuk masalah dakwah pun, ana merasa enakkan berjalan kaki. Yah itung-itung, bisa merasakan menjadi kaum dhuafa yang tidak punya apa-apa! Dan cara seperti itu yang menurut ana dapat membangkitkan rasa zuhud dalam diri ana sendiri! Menurut ana, bahwa kemudahan dalam berdakwah itu adalah dalam cara atau strategi dalam melakukan ekspansi dakwah. Bukan dalam seorang yang ingin membuat motivasi bagi dirinya untuk dapat selalu merasakan kehidupan kaum-kaum dhuafa. Dalam artian, memberikan sebuah kepekaan dalam diri untuk selalu menyayangi saudara- saudara kita yang tidak beruntung. Dan menurut ana, itu lebih baik! Daripada ana harus mengambil kemudahan-kemudahan itu, hanya untuk kepuasan diri ana sendiri. Atau dalam kata lain, ana memanfaatkan kemudahan hanya karena ingin kulit ana bisa tetap putih dan mulus selamanya.
Nggak! Ana nggak mau itu! Tidak ada mahluk mana pun yang bisa menjamin itu! Selain sang Maha penjamin kehidupan. Toh, jika takdir menyatakan kulit putih dan mulus ana hilang. Maka secara otomatis, meskipun ana menjaga agar kulit putih dan mulus ana tidak hilang. Pasti dengan cara apapun, kulit putih dan mulus ini akan hilang!” Aku sedikit menghela nafas, lalu melanjutkan perkataanku “pada dasarnya, jika ada seorang ikhwan yang tidak mau berta’aruf dengan ana! Ya, kenapa ana harus menunggu ta’aruf ikhwan. Mending ana, yang berta’aruf duluan ke ikhwan!” Ucapku sambil senyum.
Terlihat wajah-wajah yang sangat heran pada Al Ukh, yang berada disekitarku. Meraka merasa tidak percaya, aku mengatakan seperti itu.
“Masya Allah, Ukh! Apa anti nggak malu berta’aruf duluan dengan ikhwan?” Ucap Jabal.
“Ukhti, dimana rasa malu anti! Pernyataan anti seperti itu, membuat kami malu. Akhwat, harus punya harga diri yang lebih ketimbang ikhwan. Biarlah ikhwan yang mendahului kita, dalam masalah yang satu ini!” Ucap Resti
“Ukhti. Apakah anti ingat Ibunda Khadijah?” Ucapku.
Dengan cepat Jabal menyela pembicaraanku. “Selalu Ibunda Khadijah yang dijadikan alasan, oleh para akhwat untuk hal-hal yang seperti itu! Ukhti harus ingat, bahwa Ibunda Khadijah adalah wanita yang mulia, dan beliau pun meminang orang yang paling mulia didunia! Nah kita? Siapa kita? Apakah kita semulia ibunda Khadijah? Atau adakah Ikhwan semulia Rasulullah? Kalau ada ikhwan seperti Rasulullah, ana pun akan bersedia untuk melakukan cara yang dipakai ibunda Khadijah!”
Aku tersenyum. “Al Ukh! Apakah kita tidak pernah merasa dimuliakan oleh Allah? Apakah cara yang dibolehkan menurut Allah, tidak kita lakukan. Hanya karena harga diri kita! Lalu apa bedanya kita dengan orang-orang ammah pada umumnya? Yang merasakan bahwa harga diri atau pun adat istiadat rasa malu itu lebih besar ketimbang hal-hal yang dibolehkan didalam syariat! Jika seperti itu, maka dengan sendirinya kita pun telah menafikkan hal-hal yang bersifat benar dan dibolehkan! Lalu apa bedanya kita dengan wanita-wanita ammah? Apakah kita merasa bahwa harga diri kita lebih tinggi dari pada ikhwan! Apakah itu benar? Atau hanya, kita yang memasang tarif itu? Apakah kita tidak akan kecewa, jika ada seorang ikhwan. Yang bagus dalam akhidah, cakap dalam kegiatan dakwahnya. Dan kita tertarik dengan dia. Apakah kita hanya diam, mengharap ikhwan itu datang dengan sendiri tanpa ikhtiar kita. Tentunya, ikhtiar yang dibolehkan menurut syariat!”
“Ya udah kita nanti menanyakan hal ini ke Ustadzah Heni! Gimana?” Ucap Agung. Yang dari tadi hanya diam. Sepertinya menyimpan sesuatu hal, didalam maksud pembicaraan masalah ini!
Silahkan lanjut ke bagian ke II nya yah....^_^
BACA Artikel terkait:
BACA Artikel terkait: