Entah kenapa, suasana yang tadinya begitu bersahabat. Menjadi terlihat begitu serius. Sudah tidak ada lagi sendagurau dari para Al Ukh. Padahal, aku tadi tidak bermaksud menyinggung mereka. Aku hanya mengungkapkan isi hati yang ingin mereka ketahui. Kalaulah hanya masalah seperti ini saja, menjadi dongkol dihati. Apalagi masalah-masalah perdebatan yang panjang dalam masalah akhidah, syari’at, hadits, pemahaman Al Qur’an, dll. Pasti perdebatan-perdebatan seperti itu yang membuat perpecahan. Padahal solusinya mudah, menurutku.
Tinggal kita tidak usah memperdebatkan hal-hal yang tidak dilarang dalam agama. Jika seseorang tidak melanggar syari’at. Kenapa harus dicari-cari pelanggarannya.
Tinggal kita tidak usah memperdebatkan hal-hal yang tidak dilarang dalam agama. Jika seseorang tidak melanggar syari’at. Kenapa harus dicari-cari pelanggarannya.
Kalaulah ingin berdebat, yah harus dengan hati yang terbuka. Terbuka dengan hujjah orang lain, terbuka dengan pendapat orang lain, terbuka dengan pemikiran orang lain, selama hal-hal itu tidak menyimpang dari syari’at. Dan yang lebih penting, kita terbuka untuk mencari sebuah kebenaran dari perdebatan. Bukan mencari pembenaran dari pendapat kita sendiri. Jika kita memang mencari pembenaran pendapat kita dalam perdebatan. Pastilah, kita tidak akan pernah mau mendengarkan kebenaran. Karena, pembenaran itulah yang akan memakan egoisme seseorang untuk menafikkan kebenaran dalam perdebatan. Dan akhirnya, dalam perdebatan. Tidak akan pernah selesai, dan akan membuat rasa benci seseorang kepada lawan bicara. Meskipun, lawan bicara berkata benar.
Tak seberapa lama, ustadzah Heni datang. “Assalamualaikum!”
“Walikumsalam!” Jawab kami serentak tanpa dikomando.
“Afwan, ana terlambat! Ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan” Ucap Ustadzah Fany.
Kami pun tersenyum, dan memaklumi. Karena kami tahu, bahwa ustadzah Fany. Bukanlah seorang ummahat yang sedikit kegiatan. Tetapi, jam-jam produktif yang membuat begitu banyak kegiatan. Sungguh seorang mujahidah sejati. Aku tahu semua itu, karena Ummiku adalah kakak dari ustadzah Fany. Tetapi, teman-teman sekajianku belum mengetahui, kalau aku adalah saudara ustadzah Fany. Atau dalam kata lain ustadzah Fany adalah Bibiku yang telah merawatku semenjak aku kecil. Tetapi aku tidak mau, membuat mereka menjadi tahu kalau Ustadzah Fany adalah Bibiku.
“Gimana, sudah lama tadi?” Tanya ustadzah Fany.
“Nggak juga kok Ustadzah! Kami juga lagi membahas masalah yang besar!” Ucap Jabal. Terlihat seperti cari muka.
Ha! Masalah besar? Jadi mereka menganggap masalah kecil ini menjadi besar? Masya Allah! Semoga tidak menghalangi dengan masalah-masalah yang memang seharusnya dikatakan besar. Gumamku dalam hati.
“Ha! Masalah besar? Masalah apa kok sepertinya sangat penting!” Ustadzah Fany terlihat penasaran.
“Iya, masalah tentang menikah!” Jawab Wira lagi.
“Hem! Masalah itu. Yah memang itu masalah besar bagi anti-anti yang masih belum menikah!” Sindir ustadzah Fany, sambil tersenyum.
“Iya Ustadzah! Masih pelu dilanjutkan.” Ucap Wira antusias.
“Baik. Apa sebenarnya yang menjadi masalah itu!” tanya Ustadzah Fany.
Jabal menceritakan pembicaraan yang masih hangat itu. Dengan antusiasnya, sampai kepada hal-hal yang mendetail.
“Ya, seperti itu Ustadzah! Kalau menurut pendapat Ustadzah gimana?” Ucap Jabal. Mengakhiri penjelasannya.
“Oh, jadi begitu!” Ustadzah Fany menghela nafas panjang. “Begini sebenarnya, kalau menurut ana. Akhwat mendahului ikhwan dalam berta’aruf, itu sah-sah saja. Hanya saja, budaya timur ini yang membuat kita salah persepsi tentang hal itu. Rasa malu memang sangat harus dipertahankan dalam kepribadian seorang muslim. Bahkan malu itupun adalah sebagian dari iman, bukan! Tetapi, yang paling penting adalah bisa menempatkan rasa malu itu sendiri. Tidaklah seorang muslim yang tidak dapat berlaku proporsional. Semua orang muslim, harus dapat menempatkan sesuatu dengan benar! Karena, jika kita tidak menempatkan sesuatu dengan benar. Maka kita disebut dholim!” Ustadzah Fany tersenyum, dan memandang kami satu persatu. “lalu, apakah akhwat yang mendahului ikhwan berta’aruf itu tidak punya rasa malu? Mungkin kita sering mendengar dan membaca tentang riwayat Ibunda kita, Khadijah! Seorang wanita mulia, yang menikahi manusia paling mulia pula. Mungkin kita berfikir bahwa Siti Khadijah adalah seorang wanita mulia, dan kita tidak setara dengan beliau. Maka kita tidak boleh meniru beliau. Atau karena kita menganggap bahwa yang dinikahi oleh Siti Khadijah adalah seorang yang sangat mulia, sehingga kita memakluminya. Sedangkan sekarang, tidak ada lagi ikhwan yang paling sempurna. Maka sudah tertutup pintu wanita untuk menkhitbah duluan. Wahai ukhti, ingatlah. Bahwa tidak ada seorangpun yang menyamai Rasulullah. Bahkan, jin sekalipun. Lalu, apakah salah jika seorang akhwat menembak ikhwan duluan! Sebuah pertanyaan besar, mungkin! Tetapi pada dasarnya, Allah memberikan derajat yang sama kepada seluruh hambanya. Baik wanita maupun pria. Tidak ada perbedaan derajatnya. Yang membedakan hanyalah, Iman dan ketaqwaannya! Lalu, hubungannya dengan akhwat nembak duluan? Yaitu, wanita sah-sah saja menembak ikhwan lebih dulu. Dan, sudah ada beberapa contoh, selain Siti Khadijah! Tidaklah wanita lebih rendah derajatnya, jika wanita itu menembak ikhwan duluan. Tetapi, kesiapan seorang wanita untuk menembak ikhwan duluan. Haruslah sangat matang. Disamping kesiapan akhidah dan ilmu, juga harus dikuatkan pada sisi mentalnya. Dan seandainya, ikhwan tidak menerima tembakan akhwat. Maka, harus diingat bahwa niat untuk menembak hanya karena Allah. Bukan karena siapa-siapa. Jadi meskipun ikhwan tidak menerima, akhwat tetap bisa berlapang dada. Karena niatnya, hanya untuk Allah! Ya, meskipun kita tahu. Bahwa, hati seorang wanita sangatlah sensitif untuk masalah yang satu ini! Tetapi minimal, bahwa rasa malu harus ditempatkan pada tempatnya! Akhwat boleh malu, misalkan saat tembakannya tidak diterima oleh ikhwan. Tetapi hal itu tidak memalukan. Perlu diingat, bahwa hal itu bukanlah perbuatan yang memalukan! Atau bahkan merendahkan derajat wanita itu sendiri.
Jadi derajat wanita, tidak akan pernah luntur meskipun tembakannya meleset!” Ustadzah Fany, lagi-lagi melihat kami satu persatu dengan memberikan senyumnya. “malu boleh, asal tahu penempatan malu itu! Ada sebuah contoh dari seorang shahabiah. Dinukilkan dari hadits! Seorang wanita datang kepada Rasulullah, shahabiah itu menghibahkan dirinya, untuk dinikahi oleh Rasulullah. Tetapi apa yang dilakukan Rasulullah? Rasulullah hanya terdiam, tidak berkata apapun sampai ketiga kalinya. Lalu tiba-tiba seorang pria berkata kepada Rasulullah ‘Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya!’ Rasulullah mengatakan ‘Apa engkau punya sesuatu?’’ lalu jawab pria itu ‘Aku tidak memiliki apapun ya Rasulullah!’ lalu Rasulullah bertanya ‘Apakah engkau hafal suatu surat dalam Al Qur’an?’ lalu pria itu pun menjawab ‘Aku hafal ini dan itu!’ lalu Rasulullah, mengatakan ‘pergilah, karena aku telah menikahkanmu dengannya, dengan mahar surat Al Qur’an yang engkau hafal!’ apakah wanita itu menjadi rendah karena tidak dinikahi oleh rasulullah? Ataukah wanita itu rendah karena telah ditolak Rasulullah? Atau wanita itu rendah karena dinikahi oleh orang yang bukan Rasulullah? Apalagi dinikahi dengan mahar yang hanya hafalan Al Qur’an! Apakah wanita itu menjadi hina? Tidak! Shahabiah itu tetaplah seorang shahabiah. Seorang yang derajatnya tidaklah lebih rendah dari shahabiah-shahabiah lainnya! Ada sebuah contoh. Ada sebuah riwayat juga, yang menyatakan, ada seorang yang menikah dengan mahar sepasang sendal yang dipakai oleh orang itu. Dan Rasulullah bertanya ‘Apakah engkau ridha terhadap diri dan hartamu dengan sepasang sendal?’ si wanita itu menjawab ‘Ya.’ Maka Rasulullah membolehkannya.
Dari kisah-kisah seperti tadi. Apakah wanita itu sangat rendah? Hingga dia harus dihargai dengan hanya sepasang sendal! Atau, ada kisah lain yang menyatakan sahabat Rasulullah menikahkan dengan mahar, sebuah cincin besi. Semua ini pernah terjadi! Dan itu, tidak pernah menjadikan rasa malu terhadap para shahabiah- shahabiah. Ini sebuah contoh yang telah dilakukan oleh generasi Rasulullah! Jadi yang terpenting adalah. Rasa malu itu ditempatkan dengan sebenar-benarnya tempat malu itu sendiri. Jika kita telah melakukan kesalahan terhadap syari’at Islam! Baru rasa malu itu timbul. Jika kita melakukan dosa-dosa, baru rasa malu dan derajat yang rendah itu boleh muncul! Tetapi jika, kita tidak melakukan perbuatan yang melanggar syari’at. Maka sesungguhnya, kita tidak perlu merasa malu. Karena itu memang perbuatan yang tidak memalukan!
Hanya karena adat daerah, yang membuat rasa malu itu muncul. Dan persoalan-persoalan yang dianggap tabu dalam adat kita. Maka kita sering terkecoh dengan menempatkan rasa malu itu sendiri! Jadi, jika sebuah perkara yang pada dasarnya tidak dilarang oleh agama. Maka seharusnya, kita tidak usah memperdebatkan atau mencari-cari kesalahan pada hal-hal itu!” Ustadzah Fany mengakhiri penjelasannya dengan sebuah kata-kata yang bijak.
Kami berempat pun, akhirnya mengerti tentang rasa malu itu sendiri. Memang harus ada penempatan dari rasa malu itu. Bukan hanya dengan ego kita, dalam menyatakan sebuah rasa malu. Tetapi pada prinsipnya, rasa malu itupun harus berada pada hal-hal yang sudah ditetapkan. Karena ego kitalah, kita sering menganggap rasa malu itu tidak dapat ditempatkan sebagai mana mestinya. Sebuah contoh, jika kita tidak bisa mengikuti apa yang sudah menjadi kebiasaan sebuah daerah. Maka kita akan lebih cenderung untuk malu, jika kita tidak mengikuti kebiasaan mereka. Dengan kata lain, kita malu untuk tidak mengikuti kebiasaan seseorang yang pada dasarnya kebiasaan itu adalah sebuah kebiasaan yang memalukan.
Jadi sungguh besar memang manfaat rasa malu itu sendiri. Sampai-sampai dalam agama Islam, malu merupakan sebagian dari keimanan. Jadi sebagaimana apa yang telah diajarkan dalam agama Islam. Malu, merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Dan setiap muslim harus bisa menempatkan rasa malunya. Tidaklah setiap muslim mengumbar rasa malu itu, hingga menjadi malu-maluin. Atau tidaklah seorang muslim menyimpan terlalu dalam rasa malu, hingga dia tidak mengetahui tempat dimana menyimpan malunya. Maka dari itu, setiap muslim telah diajarkan oleh Allah, dengan memiliki sifat tawadzun. Dengan begitu, kita akan dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan menempatkan sesuatu dengan tempat yang benar. Bukan asal-asalan, dalam menempatkan.
*Semoga ceritanya bermanfaat....