“Jangan pernah bosan berkunjung serta bersilaturahmi
di daerah ini, kami suka bersilaturahmi”
Meskipun kedua orang tua saya berdarah Sulawesi Selatan, namun sejujurnya
saya awam sama sekali bahasa daerah sana. Saya lahir dan besar di Borneo City. Orang
tua saya sejak lama hijrah mencari kehidupan pasti. Seperti itulah salah satu ciri-ciri
orang Sulawesi Selatan, merantau dan berdagang.
8 Maret 2011,
Pertama kali ku menginjakkan kaki di Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap dengan kewajiban seorang mahasiswa menyelesaikan tugas dari kampus, yakni ber KKN (Kuliah Kerja Nyata). Pertama kalinya bergelut bersama masyarakat suku bugis. Sejujurnya orang tua saya ada keturunan dari suku bugis, Sidrap. tapi saya tidak begitu tahu mengenai silsilah keluarga yang bertemu sampai kepada orang tua saya. Bahkan secara khusus saya belum pernah mengunjungi kota ini bersama keluarga. Perkenalanku tepatnya sepengetahuanku mengenai kota ini, hanya lewat pelajaran sejarah sewaktu kecil, selebihnya belum pernah tahu.
Saya tahu secuil saja Sidrap merupakan “lumbung” penghasil beras, dan juga melahirkan gadis-gadis keturunan Arab, yang berhidung mancung. Belakangan saya tahu beberapa ulama besar Islam seperti Quraish Shihab, ahli tafsir yang terkenal itu, Najwa ….(presenter manis Metro TV) darah ibunya bersumber di kota ini. Belakangan lagi, saya baru mengetahui ada komunitas Tolotang yang memiliki kemampuan untuk bertahan hidup melintasi derasnya arus gelombang perubahan jaman di tanah air.
Progran KKN berjalan dua bulan di tahun 2011, memberiku dua berkah. Pertama, kesempatan berkunjung dan berkecimpung dalam masyarakat bugis. Kedua, dari sini juga saya baru mengetahui keluarga orang tua saya, beliau menjadi salah satu Tokoh Sejarah yang sangat banyak di ceritakan di penjuru masyarakat Sidrap. Silatuharmi kini semakin erat.
oo0oo
Perjalanan dari Makassar cukup melelahkan, kurang lebih 3 sampai 4
jam. Itu tidak membuat saya menjadi halangan untuk berKKN. Saya di tempatkan di
posko Kelurahan PAJALELE, Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap. Rumah bapak
Lingkungan II, yakni H. Hasan menjadi posko saya bersama teman-teman.
Sedikit
sejarah sepengetahuan saya tentang pajalele. Kelurahan Pajalele dulunya adalah Desa Massepe pada
kekuasaan raja bugis sampai dengan terbentuknya daerah tingkat II Sidenreng
Rappang. Sejak pemerintahan kerajaan tanah bugis Desa Massepe adalah pusat Kerajaan
Tanah Bugis termasuk 5 (lima) Addatauang yaitu: Kabupaten Bazrru; Kota
Pare-Pare; Kabupaten Pinrang; Kabupaten Sidrap; Kabupaten Enrekang.
Pada waktu itu Desa Massepe
di bawah kepemimpinan H. ANDI PALLA EWA kemudian H. MUH JAWAD YUSUF kemudian
menjadi kelurahan yaitu kelurahan massepe di bawah kepemimpinan yang antara
lain: ANDI MUHAMMAD AMIN; ANDI PATEDDUNGI; ANDI SAPEWALI.
Seiring dengan pertambahan
penduduk yang kian padat yang membutuhkan pelayanan yang lebih baik maka pada
tahun 1992 Kelurahan Massepe diusulkan menjadi 2 (dua) kelurahan yakni Kelurahan
Massepe dan Kelurahan Pajalele dan 1 (satu) Desa Teppo (pemekaran) dalam rangka
untuk memperlancar pelayanan kepada masyarakat. Dan pada tahun 1995 baru resmi
menjadi Kelurahan Persiapan Pajalele, yang artinya dalam bahasa bugis “PAJA”
yang artinya berhenti dan “LELE” yang artinya pindah. Dan jika
dirangkaikan menjadi satu maka mengandung arti tidak berpindah lagi,
dengan kata lain masyarakat Pajalele tidak akan berpindah-pindah tempat lagi.
Dan pada tahun 1996 telah definitip menjadi Kelurahan Pajalele dibawah
kepemimpinan yaitu:
1.
MUH. ARAS (Lurah Persiapan)
2.
AWALUDDIN RAMLI, S.IP., M.Si (Lurah
Definitip)
3.
ANDI BUNGA ULENG (Lurah
Definitip)
4.
ABD. RASYID (Lurah
Definitip)
5.
ANDI MAKKASAU, S.SOS (Lurah
Definitip)
6.
ABD. AZIS, M (Lurah
Definitip)
7.
H. SUTRA S. SE (Sampai
Sekarang)
Sedikit geografis Kelurahan Pajalele, terbagi menjadi tiga lingkungan. Sebelah
Utara-nya Kelurahan Amparita/Kel. Baula, sebelah Selatan-nya Kelurahan Massepe,
sebelah Barat Desa Lise, sebelah Timur Desa Buae. Ketinggian tempat Kelurahan
Pajalele adalah 27 meter di atas permukaan laut, dengan topografinya
berbentuk dataran rendah, berbukit-bukit. Dengan curah hujan yang dimiliki 2000
mm dan suhu rata-rata 30 C. Luas wilayah Kelurahan Pajalele adalah 571 Ha. Masalah
kepercayaan, di sana hanya terdapat dua penganut agama (Islam dan Hindu
[Tolotang]). Perkerjaan masyarakat Pajalele bermacam-macam, lebih banyak
berperan sebagai “Pegawai Negri Sipil”, selebihnya petani dan pandai besi.
oo0oo
Note:Kurang lebih dua bulan saya mempelajari kota ini, walaupun kecil tapi bermasyarakat yang penuh dengan santunan. Setiap sorenya warga dan anak-anak Pajalele berkunjung ke posko untuk mempererat silaturahmi. Setiap maghribnya tugas anak KKN untuk belajar agama bersama warga di Masjid yang berada di Pajalele. Aktivitas lain hari-harinya mahasiswa/i KKN mengajar seperti program biasanya. Dan membantu kegiatan-kegiatan setempat. Menurutku warga yang hebat yang penuh dengan toleransi serta ramah, saling tolong menolong tanpa mengenal bulu, ras, dan agama sebagai penganut mereka. Tentunya dengan keyakinan serta pelajaran dari suku mereka yang mengajarkan mereka sehingga bisa seperti itu yakni menjadi maskarakat yang “Hebat” menurutku. Saya tiba-tiba teringat ucapan salah satu seorang kepala sekolah di Pajalele yang membisikkan saya disaat mengajar di sekolahnya, “Jangan pernah bosan berkunjung serta bersilaturahmi di daerah ini, kami suka bersilaturhmi”.
Mahasiswa Posko Pajalele, bersama Korcam Tellu Limpoe
Baca Artikel Selanjutnya: