Tulisan ini sengaja
penulis racik dengan kegelisahan melihat fenomena yang ada. Special buat
teman-teman ForKom Ambalat Yogyakarta. Semoga hal ini di pahami, dan tidak asal
nyos dan jatos. Karena semua tahu, kita seorang pelajar yang ingin Cerdas.
Selamat menyimak, semoga bermanfaat. Ilustrasi sebuah coklat! Thanks...
Belakangan,
sering kita melihat banyak orang yang menuliskan “Persaudaraan itu semanis
coklat”, atau bahkan mungkin “Surga itu selezat coklat”. Mungkin,
kalimat-kalimat itu berasal dari mereka yang memang gemar makan coklat. Dengan
segala makna kalimat-kalimat tersebut, sebenarnya ada makna lain yang dapat
kita ambil dari kata coklat itu sendiri.
Di
sebuah film romantis dari barat, di kisahkan ada seorang dokter yang enggan
memakan kacang berbalut coklat dengan wujud yang berwarna-warni, sehingga
perilaku unik ini menggelitik tokoh utama perempuan pada saat jumpa pertamanya,
sampai memunculkan pertanyaan mengapa? “karena coklat itu warnanya coklat..”
sesederhana itu jawab si dokter yang akhirnya nanti menikah dengan perempuan
tersebut. Sekilas, jawaban “karena coklat itu coklat” menarik untuk di
perhatikan. Satu hal yang dapat kita petik mungkin dari segi kesehatan. Makanan
yang tidak di beri zat pewarna tentu relatif lebih sehat di bandingkan dengan
makanan yang di beri pewarna. Simpelnya, tentu coklat lebih sehat dan orisinil
ketika ia tetap seperti awalnya, berwarna coklat. Bukan di selimuti pewarna
kuning, merah ataupun warna lain.
Di
sisi lain, bukankah coklat mengajari kita untuk jujur? Jujur terhadap apa
adanya diri kita. Tidak perlu mencari-cari warna lain untuk menutupi
“ke-coklat-an” yang kita miliki. Kita mestinya memahami, bahwa coklat itu di
gemari bukan karena warnanya, bukan karena bentuknya. Coklat di gemari karena
rasanya, ya, rasanya, bukan yang lain. Warna, bentuk, itu hanyalah pemanis yang
ternyata tidak seluruh penikmat coklat memperhatikan atau bahkan tidak tertarik
dengan pemanis tersebut. Coklat yang murni hadir dengan segala kesederhanaan.
Manisnya pun memiliki sedikit rasa pahit. Seakan mengajari, seorang insan yang
solih tetap saja insan, bukan malaikat yang Allah ciptakan tanpa pernah akan
berbuat dosa. Insan, tetap saja insan yang merupakan tempatnya alpa dan
kesalahan. Maka, bukankah lebih baik biarkan saja coklat tetap berwarna coklat?
Kita percaya bahwa
setiap agama tidak pernah mengebiri umatnya. Setiap tokoh dalam suatu agama
pasti punya sejarah tersendiri. Yang dimana akan memetik suatu hal yang
bermakna dengan segala “ke-coklat-annya”. Bahkan Pramodya Ananta Tour seorang
sastrawan yang terkenal dengan berbagai tulisannya, begitu banyak memberikan
sumbangsih pemikiran dan kritikan buat seorang pemimpin dan bangsa ini dengan “ke-coklat-annya”.
Hanya punya foto acara ini
Kenapa kita tidak? Kita
tahu lembaga menjadi proses pendewasaan kita. Kita punya waktu dan kesempatan
untuk merasakannya. Tapi alangkah agar rasanya coklat, kita tidak merubah
eksistensinya dalam suatu racikan kesukaan, yang bagaikan surga di dalamnya. Mungkin
sebaiknya kita mulai berpikir apa yang kita kerjakan. Kalau itu hanya egoisme
yang mengedepankan nafsuh, mungkin niat itu di urungkan demi “ke-coklat-an” kita
masing-masing. Karena yakin dan percaya, semua tidak ingin merasakan coklat
yang kadaluarsa tak berguna. Kalau di katakan coklat dan agama menjadi sebuah
tujuan, itu benar! Karena sekali lagi coklat di sukai bukan karena bentuknya,
tapi rasanya.
Kita mustinya menyadari,
bahwa Agama tak pernah memotong keorisinilan pribadi-pribadi kita yang telah Sang
Khalik berikan sejak awal kita di lahirkan. Bukankah tak perlu menjadi orang
lain, untuk kemudian berjuang atau beramal lebih di jalan Allah ini, bukankah
cukup menjadi diri sendiri, untuk kemudian beraksi dan terus berkontribusi
tulus karena illahi? Tak perlu menjadi orang lain, jadi diri sendiri.. sebab
coklat itu coklat. Siapa tahu, manisnya surga yang seperti coklat justru terasa
lewat keorisinilan setiap pribadi-pribadi kita...