Seorang ibu berprofesi meminta-minta di lampu merah dekat Hotel Plaza Yogyakarta. Sambil menggendong anaknya yang lumbuh kira-kira berumur 6 tahun. Setiap lampu merah dia berjalan mendekati kendaraan yang berhenti dengan meminta-minta. Dengan beberapa ratus rupiah sebuah bungkus permen itu berpindah tangan, yang kemudian diberikannya kepada sang anak di gendongan. Sang anak dengan wajah ceria menerima dan kemudian memainkannya tanpa bermaksud memakannya, mungkin karena tidak tahu bagaimana cara membukanya atau memang dia hanya memainkannya. Sebuah potret nuansa kehidupan manusia di kota metropolitan, sebuah foto yang jelas menggambarkan bagaimana beratnya mengarungi kehidupan ini.
Anak yang tidak seharusnya berada tiap hari di jalanan yang penuh dengan kotoran kimia itu tanpa dapat menolak harus menjalaninya, dia harus bersahabat dengan semua kotoran, debu, motor, dan mobil serta orang-orang yang lewat di lampu merah itu, dia, tanpa pernah mengerti menghirup bulat-bulat semua hal yang di sajikan di depan hidungnya, semua kotoran yang seharusnya di buang oleh kuda-kuda besi itu harus dihirup dan dimasukkan ke paru-parunya yang kecil, harus dialirkan oleh darahnya ke semua sudut bagian tubuh mungilnya. Sebuah cerita sedih yang tak tau kapan akan berakhir.
Berusia 6 tahun, bukannya dia layak mendapatkan bimbingan kependidikan? Kelumpuhannya tak menjadi alasan untuk terus belajar. Dan sang ibu, yang menjadi sumber dari segala sumber ini semua, apakah patut disalahkan? Mungkinkah dia dapat meninggalkan anaknya yang masih kecil itu di rumah, jika mereka mempunyai rumah, sendiri tanpa pengawasan? Mungkinkah dia akan berada di jalanan kalau dia mempunyai suami yang bisa memberikan nafkah bagi keluarga kecil itu? Mungkinkah dia akan "mengorbankan" masa depan anaknya dengan cara seperti itu? Ataukah dia seorang ibu yang malas yang hanya memikirkan jalan pintas untuk mendapatkan uang tanpa memikirkan nasib anaknya? Ataukah dia memang tidak tahu bahwa semua yang dia lakukan itu merusak kehidupan masa depan anak-anaknya? Atau dia memang sudah putus asa dengan semua kemiskinan yang selalu menemani sepanjang kehidupannya?
Sebuah cerita kehidupan yang selalu berulang dan berulang, kapankah akan usai?